Khitan perempuan (dikenal juga dalam literatur internasional sebagai praktik yang termasuk Female Genital Mutilation/Cutting — FGM/C) tetap menjadi topik sensitif di Indonesia: secara budaya dilanggengkan dalam sebagian komunitas, tetapi mendapat kecaman dari komunitas kesehatan dan hak asasi internasional. Perkembangan regulasi nasional dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan upaya mengharmoniskan norma medis, hak asasi, dan kepentingan budaya.
Perspektif medis: risiko, “medicalization”, dan bukti ilmiah
-
Tidak ada manfaat kesehatan: Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa FGM/C tidak memiliki manfaat kesehatan dan justru berisiko menimbulkan perdarahan berat, infeksi akut, komplikasi saat buang air kecil, kista, nyeri haid, hingga masalah obstetrik di kemudian hari. WHO mengklasifikasikan berbagai prosedur ini sebagai berbahaya dan tidak direkomendasikan.
-
Tren medicalization (praktik dilakukan tenaga medis): Dalam beberapa dekade terakhir ada fenomena “medicalized FGM” — yaitu praktik dipindahkan dari tradisional ke setting klinis oleh tenaga kesehatan. WHO dan pedoman global terbaru memperingatkan bahwa tindakan medis hanya memberi legitimasi pada praktik yang berbahaya dan mendorong keluarnya rekomendasi untuk mengakhiri medicalization. WHO juga menerbitkan rekomendasi terbarunya untuk menanggulangi peningkatan medicalized FGM (April 2025).
Tingkat komplikasi dapat bervariasi menurut jenis prosedur dan siapa yang melakukannya, tetapi bukti konsisten menunjukkan tidak ada manfaat medis yang menjustifikasi risiko tersebut. Oleh karena itu komunitas medis global menganjurkan penghentian praktik.
Perspektif budaya & agama di Indonesia
-
Akar budaya dan agama: Di banyak komunitas Muslim di Indonesia, khitan perempuan dipandang sebagai tradisi atau amalan agama (dengan variasi praktik dan usia pelaksanaannya). Persepsi ini membuat upaya penghapusan menjadi kompleks karena bersinggungan dengan identitas budaya dan kepercayaan agama masyarakat setempat. Studi etnografis dan survei lokal menunjukkan keragaman sikap dari penerimaan pasif hingga penolakan.
-
Peran tokoh agama & organisasi keagamaan: Terdapat perbedaan pandangan di kalangan pemuka agama. Sebagian tokoh dan organisasi menilai khitan perempuan sebagai tradisi yang boleh dilakukan dengan syarat “tidak membahayakan”, sementara organisasi hak perempuan dan beberapa pihak lain mendorong penghapusan praktik. Publikasi dan pernyataan resmi dari organisasi keagamaan atau adat dapat mempengaruhi sikap komunitas lokal.
Perspektif regulasi & kebijakan di Indonesia — perkembangan terkini
-
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes): Di masa lalu, terdapat kebijakan-kebijakan kementerian yang mengatur atau memberi pedoman terkait praktik khitan (mis. perdebatan seputar Permenkes tahun 2010). Hal ini sempat memicu perdebatan hukum dan etik tentang apakah pemerintah harus mengatur, membolehkan, atau melarang praktik tersebut.
-
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 (implementasi UU Kesehatan): Perkembangan regulasi terbaru berupa Peraturan Pemerintah (PP) yang terkait pelaksanaan UU Kesehatan dikabarkan memasukkan ketentuan yang menyinggung penghapusan praktik sunat/khitan perempuan dalam konteks layanan kesehatan, dan mendapat perhatian lembaga-lembaga HAM/advokasi perempuan. Komnas Perempuan menyambut baik regulasi yang mendorong penghapusan praktik tersebut dan meminta perluasan cakupan perlindungan. Pernyataan resmi Komnas Perempuan mengkaji perluasan perlindungan untuk semua kelompok umur.
-
Kesenjangan implementasi: Meskipun ada kebijakan nasional, implementasi di lapangan bervariasi antar daerah dipengaruhi norma lokal, peran tokoh adat/agama, serta akses layanan kesehatan. Beberapa daerah bahkan pernah mengeluarkan kebijakan daerah yang berbeda atau ambigu, sehingga memunculkan polemik. Studi dan laporan negara menunjukkan bahwa kebijakan saja belum cukup tanpa pendidikan komunitas dan keterlibatan tokoh lokal.
Isu khitan perempuan/FGM di Indonesia berdiri di persimpangan medis, budaya, dan hukum. Bukti medis dan panduan internasional jelas menyatakan risiko dan menyerukan penghentian praktik. Namun perubahan nyata mensyaratkan kebijakan yang tegas, dialog kultural yang sensitif, serta keterlibatan aktif komunitas dan pemuka agama. Langkah terpadu regulasi yang jelas, advokasi edukatif, penegakan etika medis adalah kunci menuju penghapusan praktik yang berbahaya tanpa memicu resistensi sosial yang kontraproduktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar